Selasa, 24 Maret 2009

KONSTITUSI DAN HUKUM TATA NEGARA ADAT

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------

KONSTITUSI DAN HUKUM TATA NEGARA ADAT[1]
Oleh: Jimly Asshiddiqie[2]


Konstitusi secara sederhana oleh Brian Thompson dapat diartikan sebagai suatu dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.[3] Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Dalam konsep konstitusi itu ter­cakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yang me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.[4]
Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[5] Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement.
Oleh karena itu, karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari salah satu konsensus dasar yang termaktub dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).[6] Hal itu memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibuat dan berlaku untuk suatu negara tertentu. Konstitusi dibuat berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang dialami, serta cita-cita yang hendak dicapai.
Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter yang unik. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang secara intrinsik tidak ada yang bersifat superior satu diantara yang lainnya. Dalam hubungannya dengan pembentukan sistem hukum, von Savigny menyatakan bahwa suatu sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Hukum secara hipotetis dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity).[7]
Dengan demikian akar hukum dan ketatanegaraan suatu bangsa yang diatur dalam konstitusi dapat dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, akar ketatanegaraan Indonesia modern dapat dilacak dari Hukum Tata Negara Adat yang pernah berlaku di kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang pernah hidup di wilayah nusantara. Bahkan hukum tata negara adat juga masih dapat dijumpai hidup dan berlaku dalam lingkup masyarakat hukum adat.
Oleh karena itu mempelajari hukum tata negara adat diperlukan sebagai bagian dari upaya memahami ketatanegaraan Indonesia modern serta mengenali identitas bangsa Indonesia yang senantiasa tumbuh dan berkembang dalam keberagaman. Selain itu, mempelajari hukum tata negara adat dengan kontekstualisasi terhadap ketatanegaraan Indonesia modern juga akan mendekatkan konsep-konsep konstitusi modern terhadap masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat hukum adat. Dengan demikian konstitusi memiliki akar dan benar-benar menjadi bagian dari sistem hidup masyarakat, dipraktikkan dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat (the living constitution).

Hukum Tata Negara Adat dalam Pembahasan BPUPK
Proses pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK menunjukkan bahwa UUD 1945 dibuat dengan cita-cita dan spirit yang berakar dari semangat bangsa Indonesia yang khas, serta pengalaman ketatanegaraan adat yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari pidato Soekarno, Soepomo, bahkan Muhammad Yamin. Spirit bangsa Indonesia dari semua golongan yang ada diungkapkan oleh Soekarno menjadi lima dasar, yaitu Pancasila. Inilah salah satu bentuk kesepakatan mengenai filosofi pemerintahan yang dapat disepakati bersama (general acceptance of the same philosophy of government) . Kesepakatan tersebut terjadi karena Pancasila memiliki akar dalam masyarakat Indonesia sehingga disetujui oleh para pendiri bangsa, sebagaimana dikemukakan dalam pidato Soekarno berikut ini.
Kita bersama-sama mentjari philosophische grondslag, mentjari satu “Weltanschauung” jang kita semuanja setudju. Saja katakan lagi setudju! Jang saudara Yamin setudjui, jang Ki Bagoes setudjui, jang Ki Hadjar setudjui, jang saudara Sanoesi setudjui, jang saudara Abikoesno setudjui, jang saudara Lim Koen Jian setudjui, pendeknja kita semua mentjari satu modus.[8]

Soepomo menyatakan bahwa dasar dan susunan negara berhubungan dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial dari negara itu sendiri. Oleh karena itu pembangunan negara Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia yang ada, seperti yang disampaikan oleh Soepomo pada rapat BPUPK sebagai berikut.
Sungguh benar, dasar dan bentuk susunan dari suatu negara itu berhubungan erat dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial (sociale structuur) dari negara itu. Berhubung dengan itu apa jang baik dan adil untuk suatu negara, belum tentu baik dan adil untuk negara lain, oleh karena keadaan tidak sama.
Tiap-tiap negara mempunjai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung dengan riwajat dan tjorak masjarakatnja. Oleh karena itu, politik Pembangunan Negara Indonesia harus disesuaikan dengan “sociale structuur” masjarakat Indonesia jang njata pada masa sekarang, serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman, misalnja tjita-tjita Negara Indonesia dalam lingkungan Asia Timur Raya.[9]

Muhammad Yamin juga menyatakan bahwa yang dapat menjadi dasar negara adalah dari susunan negara hukum adat. Hal itu dikemukakan oleh Yamin berikut ini.
Dari peradaban rakjat jaman sekarang, dan dari susunan Negara Hukum adat bagian bawahan, dari sanalah kita mengumpulkan dan mengumpulkan sari-sara tata negara jang sebetul-betulnja dapat mendjadi dasar negara.[10]

Salah satu wujud hukum tata negara adat yang menjadi ciri ketatanegaraan Indonesia adalah prinsip musyawarah. Musyawarah diperlukan agar penyelenggara negara dapat menjalankan tugasnya mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan cita-cita rakyat. Musyawarah merupakan forum pengambilan keputusan sekaligus pembatasan kekuasaan. Konsep musyawarah telah dikenal dan dipraktikkan dalam ketatanegaraan adat di wilayah nusantara. Soepomo menyatakan
Menurut sifat tatanegara Indonesia yang asli, jang sampai sekarangpun masih dapat terlihat dalam suasana desa baik di Djama, maupun di Sumatera dan kepulauan-kepulauan Indonesia lain, maka para pendjabat negara ialah pemimpin jang bersatu-djiwa dengan rakjat dan para pendjabat negara senantiasa berwadjib memegang teguh persatuan dan keimbangan dalam masjarakatnja.
Kepala desa, atau kepala rakjat berwadjib menjelenggarakan keinsjafan keadilan rakjat, harus senantiasa memberi bentuk (Gestaltung) kepada rasa keadilan dan tjita-tjita rakjat. Oleh karena itu, kepala rakjat “memegang adat” (kata pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masjarakatnja dan untuk maksud itu, senantiasa bermusjawarah dengan rakjatnja atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanja, agar supaja pertalian bathin antara pemimpin dan rakjat seluruhnja senantiasa terpelihara.[11]

Yamin juga menegaskan bahwa prinsip musyawarah merupakan sifat peradaban bangsa Indonesia yang asli, bahkan sebelum masuknya Islam. Prinsip musyawarah lah yang menyusun masyarakat dan ketatanegaraan berdasarkan keputusan bersama.
Diantara segala negeri-negeri Islam di dunia, barangkali bangsa Indonesialah jang sangat mengemukakan dasar permusjawaratan dan memberi tjorak jang istimewa kepada pelaksanaan permusjawaratan. Keadaan itu bukan kebetulan, melainkan berhubungan karena dikuatkan oleh sifat peradaban yang asli. Sebelum Islam berkembang ditanah Indonesia, maka sedjak zaman purbakala sudah membentuk susunan desa, susunan masjarakat dan susunan hak tanah jang bersandar kepada keputusan bersama jang boleh dinamai kebulatan – bersama atas masjarakat. Dasar kebulatan inilah jang sama tuanja dengan susunan desa, negeri, marga dan lain-lain dan mufakat itulah jang menghilangkan dasar perseorangan dan menimbulkan hidup bersama dalam masjarakat jang teratur dan dalam tata-negara desa jang dipelihara untuk kepentingan bersama dan untuk rakjat turun-temurun.[12]

Pemikiran Soekarno, Soepomo, dan Yamin tersebut menunjukkan pentingnya hukum tata negara adat sebagai akar ketatanegaraan Indonesia merdeka. Oleh karena itu, memahami ketatanegaraan Indonesia tentu akan lebih komprehensif dengan mengetahui dan memahami hukum tata negara adat. Bahkan hukum tata negara adat yang berlaku di dalam persekutuan-persekutuan hukum adat dinyatakan oleh Yamin sebagai “kaki susunan negara sebagai bagian bawah”.[13]
Pengakuan terhadap hukum tata negara adat dan masyarakat hukumnya selanjutnya terwujud dalam rumusan Pasal 18 UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan bahwa dalam wilayah Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende landchappen dan volksgemeenschappen, yang memiliki susunan asli dan dapat dikatakan sebagai daerah istimewa. Negara menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mempertimbangkan hak-hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa.[14] Hak asal-usul tersebut juga meliputi bentuk dan struktur pemerintahan yang diatur berdasarkan hukum tata negara adat.


UUD 1945 Pasca Perubahan dan Hukum Tata Negara Adat
Walaupun para pendiri bangsa mengakui pentingnya hukum tata negara adat dan merumuskannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan dan penjelasannya, namun dalam praktiknya hukum tata negara adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri kurang mendapat perhatian. Sebaliknya, kebijakan yang dikembangkan adalah sentralisasi dan penyeragaman ketatanegaraan di tingkat daerah. Aspek hukum masyarakat adat tersisa adalah aspek keperdataan semata, yang memang tidak banyak melibatkan peran pemerintah. Hal itu dapat dilihat antara lain dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah[15] dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa[16] yang menyeragamkan struktur pemerintahan tanpa mempertimbangkan struktur masyarakat yang telah ada ada berjalan. Akibtanya, masyarakat harus mengikuti struktur dan norma bermasyarakat yang asing dan mungkin dalam beberapa hal kurang sesuai dengan tata nilai setempat. Hal itu menimbulkan ketegangan dan ketidakadilan yang tidak jarang mengarah pada konflik sosial.
Bersamaan dengan munculnya gelombang reformasi, berkembang perlunya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Oleh karena itu kebijakan mengalami perubahan dari sentralisasi menuju desentralisasi dan pembangunan berbasis pada kearifan lokal dengan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, termasuk hukum tata negara adat.
Penegasan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hukum ketatanegaraan adat dilakukan dengan mengangkat hal-hal yang bersifat normatif dalam penjelasan UUD 1945 menjadi bagian dari pasal-pasal. Hal itu dimaksudkan untuk menegaskan dan memperkuat ketentuan tersebut agar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketentuan tentang pemerintahan daerah yang semula hanya 1 ayat dalam 1 pasal, berkembang menjadi 3 pasal yang berisi 11 ayat ketentuan. Terkait dengan masyarakat hukum adat dan hukum tata negara adat diatur dalam Pasal 18B[17], sebagai berikut.
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pengakuan dan penghormatan terhadap satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa adalah meliputi pengakuan terhadap berlakunya hukum tata negara adat sesuai dengan struktur masyarakat setempat. Hal itu meliputi baik aspek struktur pemerintahan daerah maupun pembentukannya. Masyarakat yang memiliki struktur yang khusus dan istimewa tentu tidak dapat dipaksakan menjalankan ketentuan yang kurang sesuai. Hal itu misalnya dapat dilihat pada kasus pemilihan Gubernur Jogjakarta di mana struktur dan budaya masyarakatnya memiliki kekhususan dan keistimewaan sehingga belum dapat menerima pemilihan kepala daerah secara langsung.
Demikian pula halnya dengan pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat, tentu dimaksudkan juga meliputi hukum tata negara adat, baik pada tingkat desa dan nagari, marga, atau tingkatan yang lebih luas lagi. Namun demikian, pengakuan tersebut adalah terhadap kesatuan masyarakat hukum adat yang memang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip negara kesatuan. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya untuk memaksanakan hukum tata negara adat yang sesungguhnya sudah tidak hidup dalam masyarakatnya, untuk diberlakukan kembali pada masyarakat setempat yang sudah jauh berbeda struktur dan budayanya.
Adanya ketentuan Pasal 18B UUD 1945 merupakan landasan pluralisme hukum, terutama dalam hal tata pemerintahan daerah sesuai dengan hukum tata negara adat masing-masing. Di dalam sistem hukum nasional terdapat beberapa sistem hukum yang lebih kecil dan terbatas, yang saling terkait dan tertata dalam kesatuan sistem hukum nasional.[18]

Hukum Tata Negara Adat dan Domestikasi UUD 1945
Studi terhadap hukum tata negara adat tidak hanya diperlukan dalam kaitannya dengan penerapan norma hukum tata negara adat itu sendiri. Untuk hukum tata negara adat yang sudah tidak hidup dan tidak berlaku lagi dalam masyarakatnya sendiri, tentu tidak dapat diberlakukan. Namun demikian mempelajari hukum tata negara adat itu tetap diperlukan untuk mendekatkan dan menjadikan UUD 1945 sebagai bagian dari sejarah perkembangan masyarakat. Hal itu berarti menunjukkan bahwa konsep-konsep dalam UUD 1945 memiliki akar sejarah.
Walaupun dari penjelasan para pendiri bangsa dapat diketahui bahwa UUD 1945 disusun berdasarkan karakteristik asli masyarakat Indonesia, namun konsep-konsep dan istilah-istilah yang digunakan adalah istilah-istilah asing yang tidak dikenal masyarakat. Pada saat pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK misalnya, istilah dan konsep yang dipakai lebih banyak dari Belanda dan Jerman, misalnya philosophische grondslag, weltanschauung, rechtstaats, dan sebagainya. Sedangkan dalam perubahan UUD 1945, istilah-istilah yang dipakai juga merupakan istilah asing seperti konstitusi itu sendiri, rule of law, separation of power, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan sebagainya.
Istilah-istilah tersebut digunakan adalah untuk memudahkan penyampaian atau komunikasi. Sedangkan esensinya sesungguhnya sudah dapat ditemukan akarnya dalam hukum tata negara adat. Separation of power misalnya, sudah banyak dipraktikkan oleh kerajaan-kerajaan di nusantara dengan memisahkan antara lembaga atau pejabat-pejabat yang menjadi pelaksana pemerintahan (eksekutif), mengadili (hakim), dan yang memberi pertimbangan pembuatan aturan dan keputusan kepada raja, walaupun semua lembaga atau pejabat tersebut kedudukannya berada di bawah raja. Demikian pula dengan konsep supremasi konstitusi, juga dikenal dalam hukum tata negara adat karena terdapat kerajaan-kerajaan yang memiliki kitab-kitab rujukan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan negara. Untuk kesultanan-kesultanan Islam, yang menjadi sumber hukum tertinggi asalah al-Qur’an dan hadist.
Di sisi lain, eksplorasi hukum tata negara adat juga diperlukan untuk menyampaikan konsep-konsep UUD 1945 sesuai dengan pengetahuan dan medan pengalaman masyarakat Indonesia sehingga mudah di pahami dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian UUD 1945 akan menjadi konstitusi yang hidup dan berkembang dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution).
Oleh karena itu, upaya mempelajari hukum tata negara adat memiliki arti yang penting dalam proses membangun konstitusionalisme Indonesia. Hal itu dapat dilakukan dengan mempelajari konstitusi-konstitusi di kerajaan atau kesultanan yang pernah ada di wilayah nusantara. Di Jawa Barat dan Banten misalnya, dua kesultanan besar yang pernah ada adalah Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Kesultanan Cirebon berdiri pada awal abad ke-16 di bawah pemerintahan Sunan Gunung Djati. Kesultanan ini berdiri hampir 2 abad, yaitu hingga tahun 1697 dengan Sultan terakhir adalah Panembahan Sepuh.
Sedangkan Kesultanan Banten terbentuk dari Kerajaan Panten yang telah ada sejak tahun 1330 yang semula berada di bawah kekuasaan Majapahit. Karena pengaruh pedagang Islam yang berdatangan di Banten, berdirilah Kesultanan Islam Banten pada tahun 1552 dengan Sultan pertamanya adalah Sultan Maulana Panembahan Surasowan. Kesultanan Banten berjalan efektif hingga tahun 1820 saat meninggalnya Sultan terakhir, Muhammad Rafi’uddin.

DAFTAR PUSTAKA


Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. Third Edition. London: Blackstone Press ltd., 1997.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Andrews, William G. Constitutions and Consti­tu­tio­nalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.
Freeman, M.D.A. Lloyd’s Introduction to Juricprudence. Seventh Edition. London: Sweet & Maxweel Ltd, 2001.
Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Cetakan kedua. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Levinson, Sanford. Constitutional Faith. Princeton: Princeton University Press, 1990.

[1] Disampaikan sebagai bahan Keynote Speech pada Seminar Nasional tentang Konstitusi Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan Banten. UIN Gunung Djati, Bandung, 5 April 2008.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
[3] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.
[4] Lebih lanjut lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 19 – 34.
[5] William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Consti­tu­tio­nalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a political commu­nity have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
[6] Ibid., hal.12-13.
[7] M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Juricprudence, Seventh Edition, (London: Sweet & Maxweel Ltd, 2001), hal. 904-905.
[8] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, (Jakarta: Siguntang, 1959), hal. 68.
[9] Ibid., hal. 111-112.
[10] Ibid., hal. 91.
[11] Ibid., hal. 113.
[12] Ibid., hal. 96.
[13] Ibid., hal. 100.
[14] Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan.
[15] Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3037.
[16] Lembaran Negara RI Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3153.
[17] Hasil Perubahan Kedua UUD 1945.
[18] Freeman, Op. Cit., hal. 919.